Raut bahagia memenuhi ruangan yang bernuansa hitam putih malam itu. Gema ucapan selamat ulang tahun dari setiap sudut ruangan bermuara di sekeliling panggung. Seorang remaja berdiri di sana, memamerkan senyum manis dalam balutan gaun hitam. Saya, yang berpakaian dengan nuansa senada, duduk di tengah-tengah ruangan, memangku kedua tangan sambil tersenyum tipis-tipis. Dalam hati saya berteriak kuat-kuat, “Selamat ulang tahun, Ola’!”
Ola’, gadis berambut hitam panjang itu, sedang merayakan berulangnya hari yang selalu dia banggakan. Hari dimana dia menggetarkan pita suara untuk pertama kali. Hari dimana tangisnya disambut berpasang-pasang mata yang berbinar bahagia. Hari dimana dia memulai hal paling pertama dari semua hal-hal pertama yang akan dilaluinya.
Merayakan hal-hal pertama memang selalu istimewa bagi kebanyakan orang, termasuk bagi anak bungsu yang bercita-cita menjadi ahli hukum itu. Perayaan ulang tahun mungkin sudah dianggap hal yang biasa. Hanya saja, saya masih sering bertanya-tanya sendiri tentang perayaan ini.
“Apa yang sebenarnya membuat hari ini istimewa?”
“Apakah hari ini memang seharusnya dirayakan?”
“Oh ya, karena ini perayaan tujuh belas, mungkin memang sepatutnya dirayakan”
“Tapi, apa bedanya umur tujuh belas dan umur lainnya? Bukankah perkara umur dan kedewasaan itu dua hal yang berbeda”?
Saya masih duduk di tengah-tengah ruangan, membuat dan menjawab pertanyaan sendiri, seraya merekam raut bahagia dan gelak tawa orang-orang di sekitar. Di antara mereka, ada ayah-ayah muda yang duduk berkelompok, membahas pertempuran seru Clash of Clans. Ada pula ibu-ibu muda yang menggeleng-geleng kepala mendengar obrolan para ayah. Anak-anak kecil berlari kesana kemari, meninggalkan obrolan orang dewasa yang mungkin terlalu abstrak untuk mereka pahami.
"Difa, jangan lari-lari, nak!" Seorang ibu muda tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, berlari kecil sambil membungkuk, seperti berusaha menangkap bola yang sudah menggelinding. Difa hanya melempar senyum lebar, memamerkan gigi-gigi kecilnya. Tak sedikitpun berhenti. Hanya sesekali menoleh ke belakang, sambil terus berlari mengelilingi ruangan.
Di sudut lain ruangan, ada sepasang mata renta yang berbinar cerah melihat tingkah si kecil Difa. Saya lalu menghampiri pemilik mata itu, membungkukkan badan untuk mendaratkan dahi di punggung tangannya. Sedetik kemudian, percakapan panjang tentang berbagai hal dimulai, termasuk kisah-kisah nostalgia dan perihal masa depan.
“Jadi bagaimana rencananya? Mau lanjut sekolah lagi?”
“Iya Nek, insya Allah”
“Mau lanjut dimana?”
“Hmm, belum tau Nek”
“Kalau ada yang dekat-dekat saja”
Di akhir percakapan, saya akhirnya menyadari bahwa riuh pesta hari ini bukan tentang penyambutan panji-panji kedewasaan. Perayaan hari ini, adalah untuk merekonstruksi atmosfir kekeluargaan yang dulu menyambut detik-detik pertama pita suara kita bergetar. Seperti tujuh belas tahun lalu, raut bahagia, gelak tawa, rasa syukur, dan nasihat-nasihat dari para tetua mewarnai hari ini. Mungkin isi nasihatnya sudah berbeda, tapi esensinya selalu sama.
Hari ini adalah hari berkumpulnya orang-orang yang dihubungkan oleh pertalian darah, orang-orang yang berbagi sandi genetik serupa, orang-orang yang selalu bisa disebut keluarga. Buat saya, yang pernah tahu sepinya hari-hari panjang tanpa mereka, perayaan hari ini lebih dari sekedar istimewa.