Hello
If i fake my laughter to hide my sadness, would you notice it?
If i show a smiling face instead of a crying one, would you doubt it? If i try my best not to ask the questions I really want to ask, would you answer without me asking? If i disappear from all the places I used to stay, would you try to find me? If i give up, would you come and convince me not to? Jam dinding menunjukkan pukul 05.00 WITA. Suara air hujan di atap rumah bergemuruh memecah kesunyian pagi itu. Saya meringkuk seperti janin dengan kedua kaki menekuk dan kedua tangan yang disilangkan. Mencoba bertahan di zona ternyaman pagi itu, saya menenggelamkan diri dalam selimut. Namun, pikiran saya melayang jauh ke Pulau Satando. Tergambar serunya bergabung bersama tim The Floating School, bermain dan belajar bersama anak-anak di pulau itu.
The Floating School, program pendidikan non-formal yang bergerak dalam pengembangan skill dan kreatifitas pemuda di Kabupaten Pangkep, kali ini menarget tiga pulau. Pulau Satondo salah satunya. Berbeda dari beberapa program lain, The Floating School menyediakan 7 kelas kreatif sesuai minat, bakat, dan kebutuhan para pemuda di daerah target, yakni kelas menulis, menggambar, fotografi, musik, menari, prakarya, dan kelas komputer. Program ini termasuk unik, karena mampu mengumpulkan para pemuda dari beberapa daerah untuk bekerja sama demi pendidikan yang lebih baik di daerah target. Di balik terlaksananya program The Floating School, ada para pemikir muda yang telah berhasil memperjuangkan program hingga lolos sebagai salah satu pemenang YSEALI SEED 2016. Kak nunu, Nurul Al Marwah Asrul, adalah salah satu pemikirnya. Alumni Pascasarjana Jurusan Biomedik ini adalah sosok yang dikenal dengan segudang prestasi. Selain menginisiasi program The Floating School, kak nunu juga aktif di berbagai komunitas di kota Makassar, diantaranya Komunitas Blogger Makassar, SIGI, 1000 guru Makassar, dan Kepo Initiative. Deretan prestasi yang dapat diraihnya di usia muda tak hanya mengundang decak kagum, tetapi juga mengundang tanya dari orang-orang di sekelilingnya “Bagaimana bisa Kak nunu menjadi secemerlang itu?” Hari ini, pertanyaan serupa kembali mendorong saya untuk bergegas menuju rumah kak Nunu. Berbekal jas hujan, helm, dan motor matic, saya menembus hujan dengan percepatan hingga 50 km/jam. Untuk kedua kalinya, saya akan bergabung dengan Tim The Floating School menuju Pulau Satando. *** Jarum jam menunjuk pukul 09.30 Wita. Saya duduk bersila di sisi kiri perahu motor, bersandar pada dinding ruangan di mana Daeng Sikki’ mengemudi perahu motor. Di hadapan saya terhampar lautan biru dan beberapa pulau kecil yang jaraknya cukup dekat. Di samping kanan saya, Kak Nunu duduk dengan posisi serupa, sesekali memotret hamparan laut dengan ponsel cerdasnya. Tiba di Pulau Satando, Tim The Floating School bergegas ke sekolah, mengumpulkan siswa, dan menyiapkan kelas. “Cit, ini daftar nama siswa kelas menulis. Coba tanya temannya.” Kak nunu menyodorkan beberapa nama siswa yang belum juga muncul. “Oh, oke kak.” Saya menerima kertas itu lalu bergegas menghampiri siswa kelas menggambar yang sudah duduk berkelompok di sudut lapangan sekolah. Namun, tak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan siswa kelas menulis. Saat kelas lain sudah mulai belajar, siswa kelas menulis belum juga muncul. Selang beberapa menit, dua orang siswa kelas menulis akhirnya muncul. Kak nunu lalu membuka kelas menulis dengan meminta keduanya mengumpulkan tugas menulis pekan lalu. Di teras bangunan sekolah, kak nunu dan saya duduk bersila, membaca tulisan mereka secara bergantian. “Saya suka tulisan kalian, saya nda’ nyangka kalian bisa nulis sebagus ini.” Kak nunu memberi apresiasi positif pada kedua siswa tadi, lalu segera menoleh ke arah saya, “Cit, sepertinya kita harus tampilkan ini di kelas kepo minggu depan, sentuhan personalnya dapat banget.” Saya tentu setuju, karena kedua tulisan yang saya baca tadi memang kaya dengan deskripsi personal. Di antara buku-buku yang berserakan di lantai, kak nunu mulai menjelaskan materi dengan memanfaatkan papan tulis putih berukuran kurang lebih 40 cm x 30 cm. Raut bahagia dan penuh semangat jelas sekali tergambar di wajahnya. Sesekali, mereka tertawa lepas. Dari arah belakang, empat orang anak kecil tiba-tiba muncul. Usianya sekitar tujuh atau delapan tahun. Salah satu dari mereka, bahkan membawa adiknya yang hanya berusia usia dua tahun. Mereka ingin bergabung dengan kelas menulis. Nampaknya karena tertarik dengan buku-buku yang tergeletak di lantai. Kak nunu menyambut dengan senyum lebar yang khas, seraya menunjukkan buku-buku yang dapat mereka baca. Selang beberapa menit, anak kecil lainnya mulai berdatangan dan berebut ingin memilih buku. Peserta cilik yang tidak terdaftar sebagai siswa The Floating School ini harus segera dialihkan perhatiannya. Tapi, bagaimana caranya? Kak nunu lalu berbisik di antara ributnya suara cempreng anak-anak kecil itu, “Citra, ajak dulu main.” “Oh iya, sini adik-adik, ayo main di lapangan!” saya bergegas mengajak anak-anak itu ke lapangan, tanpa rencana yang jelas harus bermain apa. Saya yang telah beralih tugas bermain bersama belasan anak kecil, kini berdiri di lapangan. Sesekali mengamati berlangsungnya kelas menulis dari jarak beberapa meter. Dari kejauhan, Kak nunu terlihat sibuk menjelaskan dengan papan tulis putih di tangannya. Hari sudah menjelang siang, tapi belum ada raut lelah tergambar di wajahnya. Layaknya baterai, kak nunu hampir-hampir seperti baterai yang selalu terisi full. Semangat mengajar Kak Nunu hari ini hanyalah sebagian kecil dari semangatnya mengurus berbagai kegiatan dalam waktu yang hampir selalu bersamaan. Teman-teman di sekelilingnya tahu betul bagaimana Kak Nunu selalu sibuk dalam berbagai kegiatan kepemudaan. Di akhir kelas prakarya pekan lalu, Kak Muti juga menyiratkan hal serupa. “Nunu itu kepedulian sosialnya tinggi sekali, ibarat tidak pernah berhenti berpkir apa lagi yang bisa dia lakukan.” Ungkap Kak Muti seraya menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya saat menjadi professional fellow di Amerika Serikat bersama Kak Nunu. Sebagai seorang magister Biomedik, kak nunu telah menunjukkan kepeduliannya pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. The Floating School hanyalah salah satu dari sekian banyak kontribusi nyata wanita kelahiran Riyad Arab Saudi ini di bidang pendidikan. Mengingat berbagai pencapaiannya di bidang akademik dan non-akademik, banyak yang masih bertanya-tanya mengapa Kak Nunu mau bersibuk-sibuk dengan segudang kegiatan sosial, sementara dia bisa mulai fokus menata kariernya. “Saya ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama orang-orang berkualitas.” Begitu kata Kak nunu saat ditanyai hal yang paling ingin dilakukannya. Kalimat yang terdengar sederhana, tapi menyiratkan keinginan untuk bisa selalu melakukan hal yang bermanfaat. Raut bahagia memenuhi ruangan yang bernuansa hitam putih malam itu. Gema ucapan selamat ulang tahun dari setiap sudut ruangan bermuara di sekeliling panggung. Seorang remaja berdiri di sana, memamerkan senyum manis dalam balutan gaun hitam. Saya, yang berpakaian dengan nuansa senada, duduk di tengah-tengah ruangan, memangku kedua tangan sambil tersenyum tipis-tipis. Dalam hati saya berteriak kuat-kuat, “Selamat ulang tahun, Ola’!” Ola’, gadis berambut hitam panjang itu, sedang merayakan berulangnya hari yang selalu dia banggakan. Hari dimana dia menggetarkan pita suara untuk pertama kali. Hari dimana tangisnya disambut berpasang-pasang mata yang berbinar bahagia. Hari dimana dia memulai hal paling pertama dari semua hal-hal pertama yang akan dilaluinya. Merayakan hal-hal pertama memang selalu istimewa bagi kebanyakan orang, termasuk bagi anak bungsu yang bercita-cita menjadi ahli hukum itu. Perayaan ulang tahun mungkin sudah dianggap hal yang biasa. Hanya saja, saya masih sering bertanya-tanya sendiri tentang perayaan ini. “Apa yang sebenarnya membuat hari ini istimewa?” “Apakah hari ini memang seharusnya dirayakan?” “Oh ya, karena ini perayaan tujuh belas, mungkin memang sepatutnya dirayakan” “Tapi, apa bedanya umur tujuh belas dan umur lainnya? Bukankah perkara umur dan kedewasaan itu dua hal yang berbeda”? Saya masih duduk di tengah-tengah ruangan, membuat dan menjawab pertanyaan sendiri, seraya merekam raut bahagia dan gelak tawa orang-orang di sekitar. Di antara mereka, ada ayah-ayah muda yang duduk berkelompok, membahas pertempuran seru Clash of Clans. Ada pula ibu-ibu muda yang menggeleng-geleng kepala mendengar obrolan para ayah. Anak-anak kecil berlari kesana kemari, meninggalkan obrolan orang dewasa yang mungkin terlalu abstrak untuk mereka pahami. "Difa, jangan lari-lari, nak!" Seorang ibu muda tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, berlari kecil sambil membungkuk, seperti berusaha menangkap bola yang sudah menggelinding. Difa hanya melempar senyum lebar, memamerkan gigi-gigi kecilnya. Tak sedikitpun berhenti. Hanya sesekali menoleh ke belakang, sambil terus berlari mengelilingi ruangan. Di sudut lain ruangan, ada sepasang mata renta yang berbinar cerah melihat tingkah si kecil Difa. Saya lalu menghampiri pemilik mata itu, membungkukkan badan untuk mendaratkan dahi di punggung tangannya. Sedetik kemudian, percakapan panjang tentang berbagai hal dimulai, termasuk kisah-kisah nostalgia dan perihal masa depan. “Jadi bagaimana rencananya? Mau lanjut sekolah lagi?” “Iya Nek, insya Allah” “Mau lanjut dimana?” “Hmm, belum tau Nek” “Kalau ada yang dekat-dekat saja” Di akhir percakapan, saya akhirnya menyadari bahwa riuh pesta hari ini bukan tentang penyambutan panji-panji kedewasaan. Perayaan hari ini, adalah untuk merekonstruksi atmosfir kekeluargaan yang dulu menyambut detik-detik pertama pita suara kita bergetar. Seperti tujuh belas tahun lalu, raut bahagia, gelak tawa, rasa syukur, dan nasihat-nasihat dari para tetua mewarnai hari ini. Mungkin isi nasihatnya sudah berbeda, tapi esensinya selalu sama. Hari ini adalah hari berkumpulnya orang-orang yang dihubungkan oleh pertalian darah, orang-orang yang berbagi sandi genetik serupa, orang-orang yang selalu bisa disebut keluarga. Buat saya, yang pernah tahu sepinya hari-hari panjang tanpa mereka, perayaan hari ini lebih dari sekedar istimewa. Saya berdiri di tepi Jalan Talasalapang sore itu, berpakaian kotak-kotak hitam putih, sambil menjinjing tas kanvas berisi notebook, charger, dan buku catatan. Saya melempar pandangan ke sekeliling, mencoba mencari tahu kalau saja ada wajah-wajah familiar di sekitar. Tapi, hanya ada sekelompok pria di warung sebelah, nampak sedang berkelakar. Tak ada wajah-wajah yang saya kenal, termasuk wajah tukang parkir di tempat ini. Motor dan mobil nampak terparkir tak beraturan. Begitu pula motor saya, hanya terparkir seadanya demi menempati celah yang tersisa.
Tanah berpasir di tepi jalan nampak kering. Butiran pasirnya berterbangan saat angin bertiup. Tapi tak tercium aroma tanah, seperti aroma khas selepas hujan yang selalu memanggil kembali memori masa kecil. Hanya tercium aroma debu bercampur asap kendaraan yang memaksa saya untuk bergegas memasuki bangunan di tepi jalan itu, kedai kopi favorit saya. Tidak seperti kedai kopi di seberang jalan yang pintunya dibuat tetap terbuka, kedai favorit saya ini mengadopsi konsep in door dengan pintu geser yang selalu ditutup rapat. Cukup sulit membuka pintu geser berbahan dasar kayu itu. Otot lengan harus berkontraksi kuat-kuat, lalu badan harus ikut mendorong ke samping hingga celahnya cukup untuk dilewati. Setelah berhasil meloloskan badan melalui celah pintu yang terbuka secukupnya, saya bergegas ke meja kasir yang hanya berjarak sembilan langkah dari pintu masuk. “Pisang goreng keju satu, coklat dingin satu.” Saya memesan dengan suara yang dikecil-kecilkan, sambil mengacungkan jari telunjuk. Nyaris seperti televisi rusak, ada gambar tak ada suara. “Oh, oke!” Kata pria berseragam hitam yang mencatat pesanan saya sambil mengangguk-angguk. Saya lalu bergegas menuju meja di ujung ruangan. Dari meja di ujung ruangan ini, saya bisa dengan leluasa memperhatikan detail ruangan kedai yang memang tak begitu luas. Di sisi kanan, ada empat buah meja yang disusun sejajar mengikuti panjang ruangan. Dindingnya di cat warna kuning dan dihiasi beberapa lukisan yang memberi warna modern. Di sisi kiri, ada meja kasir yang panjangnya lebih dari setengah panjang ruangan. Ada pula dua buah meja yang juga disusun sejajar. Dindingnya bernuansa lebih gelap dengan dasar abu-abu dan tulisan besar Hello. Dari meja di ujung ruangan ini, saya masih bisa melihat kendaraan berlalu-lalang di depan kedai dari kaca pintu bening berbentuk kotak-kotak vertikal. Di kiri kanan pintu, ada rak kayu berwarna cokelat muda, senada dengan warna pintu. Ukuran rak itu cukup besar, hingga terkesan seperti dinding dengan banyak kompartemen berbentuk kotak. Di setiap kompartemennya, dipajang miniatur unik, termasuk miniatur becak, gendang, phinisi, hingga motor gede. Kaca vertikal pada pintu geser dan celah-celah pada kompartemen rak di kedua sisi pintu itu memudahkan saya mengamati suasana tepi jalan di depan kedai tanpa harus melangkahkan kaki ke luar. Ada penampakan motor, mobil, dan pete-pete yang melintas, tapi suara bising klakson dan mesin-mesin kendaraan itu tak sampai menggetarkan membrane timpani saya, tertahan oleh pintu yang sejak tadi tertutup rapat. Mata menatap jauh ke tepi jalan, tapi telinga hanya mendengar kebisingan dari ruang kepala sendiri. Neuron-neuron otak saya begitu ribut dengan pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang bagaimana menyelesaikan artikel yang deadline hari ini, bagaimana pola makan yang dapat menambah berat badan tapi tidak menambah jerawat, hingga tentang bagaimana agar saya bisa lolos ujian praktik berkendara. Dengan berbagai pertanyaan yang bergema di dalam kepala, saya tetap duduk diam, nyaris menyerupai patung dengan wajah datar. Saya mengalihkan tatapan ke layar notebook. Tetap dengan wajah datar, hanya kedua mata saya yang sesekali berkedip. Kedua telinga saya ter-inaktivasi. Membran timpani tak merespon getaran suara para pengunjung lain di kedai itu. Tak terdengar sedikitpun suara, kecuali suara monolog neuron-neuron otak yang bergema berkali-kali. Ini aneh, karena monolog neuron lebih menarik bagi membran timpani di telinga saya. Bagaimana bisa suara-suara lain di ruangan ini terabaikan? Bagaimana bisa ruangan ini terasa seperti tanpa pengunjung? Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Kebisingan dari dinding neuron otak selalu membuat saya mengabaikan dunia nyata. Bukan kali ini saja saya hanyut oleh arus monolog neuron, tenggelam dalam ramainya pertanyaan retoris yang menggema dari dasar cerebrum. Seringkali di rumah dan di kampus, saya duduk mematung dengan wajah datar menatap barisan huruf di layar sebelas inchi. Sekilas dunia saya tampak sunyi, tapi saya merasa benar-benar ramai. Sekilas mungkin tampak membosankan, hanya berkutat dengan lautan kata di layar sebelas inchi, tapi saya tak pernah benar-benar bosan. “Eh, Kak Citra, sendiri ki kak? Kodong kakak, mana teman ta kak?” Sapaan seorang teman menyela monolog neuron yang sejak tadi belum berhenti. “Iya dek, sendiri ji, hehe” Jawabku singkat sambil tersenyum lebar. Sedetik kemudian, kepala saya kembali ramai dengan monolog yang hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Dia, dan semua orang di kedai ini, tidak akan mengerti serunya monolog neuron yang bergema dari dasar cerebrumku. Mereka mungkin tidak akan tahan duduk sendiri selama berjam-jam, tanpa teman ngobrol. Tapi, saya justru menikmati detik demi detik yang kuhabiskan untuk mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang digaungkan oleh neuron. Rasanya seperti menyeruput teh hangat di tengah-tengah para penikmat kopi, merayakan kebahagiaan dengan ukuran yang berbeda. Saya berdiri di tepi Jalan Talasalapang sore itu, berpakaian kotak-kotak hitam putih, sambil menjinjing tas kanvas berisi notebook, charger, dan buku catatan. Saya melempar pandangan ke sekeliling, mencoba mencari tahu kalau saja ada wajah-wajah familiar di sekitar. Tapi, hanya ada sekelompok pria di warung sebelah, nampak sedang berkelakar. Tak ada wajah-wajah yang saya kenal, termasuk wajah tukang parkir di tempat ini. Motor dan mobil nampak terparkir tak beraturan. Begitu pula motor saya, hanya terparkir seadanya demi menempati celah yang tersisa. Tanah berpasir di tepi jalan nampak kering. Butiran pasirnya berterbangan saat angin bertiup. Tapi tak tercium aroma khas tanah, seperti aroma tanah selepas hujan yang selalu memanggil kembali memori masa kecil. Hanya tercium aroma debu bercampur asap kendaraan yang memaksa saya untuk bergegas memasuki bangunan di tepi jalan itu, kedai kopi favorit saya. Tidak seperti kedai kopi di seberang jalan yang pintunya dibuat tetap terbuka, kedai favorit saya ini mengadopsi konsep in door dengan pintu geser yang selalu ditutup rapat. Cukup sulit membuka pintu geser berbahan dasar kayu itu. Otot lengan harus berkontraksi kuat-kuat, lalu badan harus ikut mendorong ke samping hingga celahnya cukup untuk dilewati. Setelah berhasil meloloskan badan melalui celah yang terbuka secukupnya, saya bergegas ke meja kasir yang hanya berjarak sembilan langkah dari pintu masuk. Setelah memesan segelas coklat dingin dan sepiring pisang goreng keju pada pria berseragam hitam dan berambut gondrong, saya melangkah dengan sedikit terburu-buru, menuju meja di ujung ruangan. Dari meja di ujung ruangan ini, saya bisa dengan leluasa memperhatikan detail ruangan kedai yang memang tak begitu luas. Lebarnya kurang lebih lima meter dan panjangnya lima belas meter. Ada enam buah meja yang disusun sejajar mengikuti panjang ruangan, dua di sisi kiri dan empat di sisi kanan. Hanya ada satu meja yang ditempatkan di ujung dalam, mengikuti lebar ruangan. Meja-meja itu berbahan dasar kayu dan dicat warna cokelat. Kursi-kursinya berbahan dasar besi dan plastik, berwarna pink, biru, dan abu-abu. Dinding sisi kanan dicat warna putih dan dihiasi beberapa lukisan yang memberi nuansa modern. Di sisi kiri, dindingnya bernuansa lebih gelap dengan dasar abu-abu dan tulisan besar Hello. Di kiri kanan pintu, ada rak kayu berwarna cokelat muda, senada dengan warna pintu. Ukuran rak itu cukup besar, hingga terkesan seperti dinding dengan banyak kompartemen berbentuk kotak. Di setiap kompartemennya, dipajang miniatur unik, termasuk miniatur becak, gendang, phinisi, motor gede, dan banyak lainnya. Dari meja di ujung ruangan ini, saya masih bisa melihat kendaraan berlalu-lalang di depan kedai dari kaca pintu yang bening dan berbentuk kotak-kotak vertikal. Delapan kotak vertikal pada pintu geser itu memudahkan saya mengamati suasana di depan kedai tanpa harus melangkahkan kaki ke luar. Ada penampakan motor, mobil, dan pete-pete yang melintas, tapi tak ada suara bising mesin dan klakson. Suara bising di tepi jalan itu tak sampai menggetarkan membrane timpani saya, tertahan oleh pintu yang sejak tadi tertutup rapat. Mata menatap jauh ke tepi jalan, tapi telinga hanya mendengar kebisingan dari ruang kepala sendiri. Neuron-neuron otak saya begitu ribut dengan pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang bagaimana menyelesaikan artikel yang deadline hari ini, bagaimana pola makan yang dapat menambah berat badan tapi tidak menambah jerawat, hingga tentang bagaimana agar saya bisa lolos ujian praktik berkendara. Dengan berbagai pertanyaan yang bergema di dalam kepala, saya tetap duduk diam, nyaris menyerupai patung dengan wajah datar. Saya mengalihkan tatapan ke layar notebook. Tetap dengan wajah datar, hanya kedua mata saya yang sesekali berkedip. Jari-jari saya mulai bergerak, menekan huruf demi huruf pada keyboard dengan kolaborasi enam jari: dua jari manis, dua jari tengah, dan dua jari telunjuk. Layar notebook selebar 11 inchi ini menjadi satu-satunya peredam kebisingan di dinding neuron-neuron otak. Huruf demi huruf pada layar, pelan tapi pasti, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi didengungkan neuron-neuron otak saya. Kedua telinga saya ter-inaktivasi. Membran timpani tak merespon getaran suara para pengunjung lain di kedai itu. Tak terdengar sedikitpun suara, kecuali suara monolog neuron-neuron otak yang bergema berkali-kali. Ini aneh, karena monolog neuron lebih menarik bagi membran timpani di telinga saya. Bagaimana bisa suara-suara lain di ruangan ini terabaikan? Bagaimana bisa ruangan ini terasa seperti tanpa pengunjung? Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Kebisingan dari dinding neuron otak selalu membuat saya mengabaikan dunia nyata, tenggelam dalam lautan kata di layar seukuran sebelas inchi. Bukan di ruangan ini saja saya bisa tenggelam dalam dunia selebar layar notebook. Seringkali di rumah dan di kampus, saya tenggelam oleh monolog di kepala saya sendiri, duduk mematung dengan wajah datar menatap barisan huruf di layar sebelas inchi. Tidak sedikit suara sapaan sahabat yang diabaikan oleh membran timpani, sampai saya harus berkali-kali meminta maaf. Tapi monolog-monolog itu masih terus memenuhi ruang kepala saya setiap kali bertatapan dengan layar sebelas inchi ini. Hingga detik ini, saat mata saya menatap kendaraan di luar dari kaca pintu yang bening, telinga saya hanya mendengar monolog neuron-neuron yang belum berhenti sejak tadi. Saya pernah jatuh cinta pada buku tulis kecil yang bisa dibawa kemanapun, buku catatan. Banyak hal yang bisa saya tuliskan di buku itu, termasuk ringkasan materi kuliah, deadline tugas, hingga rencana remeh-temeh yang ingin saya lakukan. Tapi, saat mulai mengenal laptop, buku catatan itu terpinggirkan. Dengan laptop, saya pikir tak perlu lagi mencatat, cukup mengunduh E-book dan materi kuliah yang sudah tersedia di internet. Menyusul kepopuleran laptop, tablet kemudian muncul dengan ukuran yang lebih kecil dan ringan, mudah dan nyaman dibawa saat bepergian. Ratusan E-book pun dapat dimuat, lengkap dengan aplikasi Notes. Tak perlu lagi membawa buku catatan kemana-mana.
Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa teknologi tersebut tidak sepenuhnya dapat menggantikan posisi buku catatan. Ada hal-hal tertentu dari buku catatan yang tidak bisa tergantikan, bahkan oleh laptop dan tablet sekalipun. Setidaknya ada 3 hal istimewa dari buku catatan, yang membuat saya jatuh cinta berkali-kali dan tetap setia menggunakannya hingga saat ini. Here they are! 1. Buku catatan bisa dibawa kemana-mana tanpa takut lowbat! Di masa-masa penulisan tugas akhir dulu, saya suka membawa bahan tulisan ke kedai kopi agar bisa menulis lebih rileks. Beberapa kali, saya lupa membawa charger laptop, padahal dayanya sisa 10%. Saat ingat bawa charger, tempat nge-charge malah penuh. Benar-benar menguji kesabaran. Tapi, dengan buku catatan, saya tidak perlu khawatir dengan masalah-masalah semacam itu. Saya bisa duduk berlama-lama di kedai kopi, menuliskan kerangka pikir dan ide penting, tanpa khawatir kehabisan daya dan mati gaya. 2. Buku catatan tak perlu takut diserang virus! Virus adalah salah satu musuh para pengguna gadget, termasuk pengguna laptop dan tablet. Pasalnya, serangan virus dapat menyembunyikan data atau bahkan merusak data. Di awal semester 5 dulu, saya harus rela kehilangan semua data materi dan tugas kuliah yang tersimpan rapi di laptop. Semua materi kuliah, dari awal semester 1 hingga akhir semester 4, hilang tanpa jejak karena serangan virus. Untungnya, masih ada catatan yang tersimpan hingga saat ini. Catatan tentang materi kuliah yang sempat saya tuliskan di buku catatan. 3. Buku catatan dapat menjadi penyimpan kenangan yang istimewa! Pernah suatu hari, demi tugas hafalan 37 Pasal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, saya mencari buku UUD 1945 di rak buku Almarhum Kakek. Diantara deretan buku tua dengan kertas yang sudah berwarna kecoklatan, terselip satu buku catatan kakek. Sampul bukunya hitam dan masih cukup mengkilat, Dari buku itu, saya jadi tahu bagaimana tulisan tangan beliau. Saya juga jadi tahu tentang hal-hal yang menjadi perhatian beliau, termasuk beberapa kalimat bijak yang dituliskan di buku catatan itu. Kalau saja internet sudah ada sejak jaman Kakek dulu, pola pikir dan pola tindak beliau mungkin akan terekam di sosial media. Bagaimanapun, goresan pena di buku catatan, sebagai wujud kolaborasi kognitif dan motorik, akan tetap lebih istimewa dibanding deretan Times New Roman di layar komputer. Itulah 3 hal yang membuat saya tetap setia menggunakan buku catatan di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi. Mengabaikan buku catatan karena gadget yang lebih edgy, adalah meninggalkan hal yang sederhana untuk sesuatu yang terkesan lebih sempurna. Tanpa sadar, ternyata kesederhanaan yang justru menenangkan. Pembicaraan tentang "umur" seringkali menjadi hal yang "tabu" bagi sebagian masyarakat. Pasalnya, mereka merasa bahwa semakin bertambah umur, maka semakin tidak menarik dirinya secara fisik. Alhasil, pertanyaan-pertanyaan seputar umur adalah hal yang selalu dihindari. Berbagai upaya pun dilakukan untuk melawan proses penuaan agar tetap terlihat lebih muda. Menjadi "awet muda" kini menjadi salah satu standard kecantikan serta menjadi target dan kebanggaan tersendiri, termasuk di Thailand - negara dimana saya tinggal saat ini. Menurut hemat saya, masyarakat Thailand secara umum cenderung terlihat awet muda secara fisik. Awalnya, saya pikir ini merupakan bagian dari karakteristik genetik mereka. Namun, setelah saya mengobservasi pola hidup dan kebiasaan masyarakat disini, saya pun menyadari bahwa masyarakat Thailand memiliki kebiasaan menarik yang mendukung penampakan fisik mereka untuk tetap terlihat awet muda. Kebiasaan menarik yang menjadi rahasia awet muda ini adalah sebagai berikut:
1. Menghindari makanan manis Untuk apa menghindari makanan manis? Khususnya bagi para perempuan, makanan manis dinilai menjadi penyebab utama kegemukan. Sementara itu, menjadi gemuk adalah suatu hal yang sangat dihindari, khususnya bagi para wanita, karena salah satu kriteria cantik versi masyarakat Thai adalah "kurus". Alhasil, makanan manis yang notabene penyebab kegemukan ini adalah hal yang wajib untuk dihindari. Menyadari kondisi konsumen yang sangat peduli dengan kandungan gula pada makanan, produsen makanan banyak menyediakan low sugar food. Selain itu, makanan dan minuman di pasaran juga banyak yang difortifikasi dengan nutrisi pendukung kecantikan, seperti colagen, glutathione, vitamin c, dll. Intinya, produsen makanan di Thailand menyadari kondisi konsumen yang begitu peduli dengan kacantikan fisik. Sisi positif yang saya lihat dari hal ini adalah masyarakat tidak semata-mata bergantung pada produk yang mempercantik dari luar saja (misalnya krim pemutih). Masyarakat disini paham bahwa kecantikan diluar itu harus didukung dengan kesehatan dari dalam tubuh. Pola penyediaan makanan di cafe shop juga banyak yang peduli tentang pola konsumsi gula di masyarakat. Alhasil, di menu-menu pemesanan biasanya akan ditanyakan tingkat kemanisan (kadar gula) yang diinginkan untuk makanan yang dipesan, misalnya tidak manis, sedang, dan manis. Ada pula yang selalu menyediakan minuman dengan kadar gula rendah atau bahkan tanpa gula untuk, misalnya Cafe Fineday yang hari ini kami kunjungi. Jika pengunjung ingin menambah kadar gula pada minumannya, telah disediakan gula khusus dan boleh diambil seperlunya. Pola konsumsi rendah gula telah didukung oleh berbagai riset sebagai salah satu cara ampuh untuk memperlambat penuaan. Sebaliknya, pola konsumsi dengan kadar gula yang tinggi dapat mempercepat penuaan. Hal ini dijelaskan oleh Danby (2010) bahwa kadar gula yang tinggi dapat mengganggu pembentukan ikatan kovalen antara dua serat kolagen pada kulit, sehingga akhirnya berujung pada percepatan penuaan. 2. Kebiasaan berolahraga Kebiasaan berolahraga juga adalah salah satu hal yang mendukung penampakan awet muda masyarakat disini. Khusus di lingkungan Naresuan University, berbagai fasilitas olah raga telah disediakan dan setiap sore hingga malam sangat banyak mahasiswa yang terlihat sibuk melakukan aktivitas olah raga masing-masing. Berbagai hasil peneilitan juga mendukung pentingnya olah raga dalam mencegah penuaan dini. Salah satu artikel penelitian terbaru (baca disini) menunjukkan bahwa olahraga dapat mencegah penuaan sekunder (penuaan dini) pada otot rangka. 3. Penikmat Liburan Sejauh yang saya amati, masyarakat Thailand secara umum memiliki kuantitas liburan yang lebih banyak dibandingkan masyarakat di Indonesia. Setidaknya untuk lingkungan masyarakat ketika saya di Indonesia dan di Thailand. Setiap liburan, pada akhir semester misalnya, akan dimanfaatkan untuk travelling ke provinsi lain atau bahkan ke negara lain. Mudahnya akses lokasi wisata dan biaya transport yang cukup terjangkau merupakan faktor pendukung pola hidup masyarakat Thai yang menyukai kegiatan travelling. Itulah 3 faktor yang menurut pengamatan saya mendukung penampakan fisik masyarakat Thai yang umumnya terlihat lebih muda dari umur sebenarnya. Diantara ketiga faktor ini, faktor pertama yakni pola konsumsi rendah gula menurut saya adalah pola konsumsi yang dapat kita adopsi, bukan hanya untuk menjadi lebih awet muda, tetapi juga untuk menjadi lebih sehat. Stay smart, stay young. One day at school ... Dylan: Did you know that science has global implication? Kate: Global implication? What does it mean? Dylan: It means that science can give influence to the global society and it can help us to solve many global issues, like the issue of climate change, infectious disease, protection of endangered species, and many others. Kate: Superb! I couldn't even imagine how this world would be without science. ________________________________________________________________________________________________________________________________ The conversation above is an example of how you may think about global implication of science. What Dylan has explained is definitely true. Scientific knowledge can be implemented to solve global issues. As an example, i would like to take "cancer treatment" as an example. The development of cancer treatment (e.g. medicine or theraphy to treat cancer) is an example of how the development of scientific knowledge have been helping us to solve problems in our society. Follow the explanation below to understand this matter. 1. What is cancer?Cancer is a collection of related disease in which the body’s cells begin to divide without stopping and spread into surrounding tissues. In other words, cancer cells will grow out of control, it divides continuously and become invasive. (Read more here) 2. What happens in cancerous cell's metabolism?If we think about how cancerous cells could grow continuously, we may think about how this type of cell can produce energy? (Simply because if you have energy, you can continue to grow). Well, there is a unique difference between normal and cancerous cells in the way they produce their energy. Normal cells produce their energy (ATP) through aerobic respiration, in which glucose will first be processed through glycolysis to produce pyruvate. This pyruvate will then be processed in mitochondria to produce up to 38 ATP, as well as H2O and CO2 as byproducts. Unlike normal cells, cancerous cells will not process the pyruvate (product of glucose conversion) in mitochondria even when the oxygen are in abundance. In cancerous cells, glucose will be converted to pyruvate and the continued to produce lactic acid. The conversion of glucose into lactic acid in the presence of oxygen is known as Warburg Effect. Can you guess what does it means when your cells produce a lot of lactic acid? Yes, You will have a high pH (acidic). (Read the article online here, or you can leave your email address below if you need the full paper of the article) 3. How the knowledge of cellular respiration can help to develop cancer treatment?When we know the difference mechanism of energy production between normal cells and cancerous cells, we can then tried to think about possible way to treat the cancer. (Well, yeah, it's the job of scientists. But we can try to help! ^^)
Scientists has also been using the knowledge of cellular respiration process to find a possible cancer treatment, for instance by targeting the mitochondria. Why is it a possible way to treat cancer? As we know that cancerous cell will convert glycolysis into pyruvate in the presence of oxygen (Warburg effect), researcher proposed that improving the capability of mitochondria to produce energy is a fruitful way of treating cancerous cells. Can you think of other possible way to treat cancer based on you understadning of cellular respiration concepts? Please share your opinion on the comment section below! 1. Nama panggilan teman-temanmu berasal dari kata benda disekitarmu Kosa kata nama di Indonesia umumnya diserap dari bahasa asing, misalnya bahasa Arab, Sanskrit, atau bahasa daerah. Ketika seseorang bertanya, "Ani, nama kamu artinya apa?" Ani mungkin akan kebingungan menjelaskan arti namanya sendiri. Saya ingat salah satu teman saya, Irfan Gunadi. Saat diminta menjelaskan arti namanya di sesi perkenalan pada salah satu mata kuliah, dia menjelaskan "Gunadi, berasal dari kata berguna dan berbudi. Jadi, nama saya adalah doa agar saya menjadi anak yang berguna dan berbudi." Saya sempat terkagum-kagum, sungguh orang tuanya sangat kreatif memberi nama Gunadi yang berasal dari kata berguna dan berbudi. "Irfan, kerennya arti nama ta!" (Irfan, arti nama kamu keren!) "Saya karang itu sister, nda tauka apa artinya namaku" (Saya cuma mengarang, saya juga ga tau arti nama saya apa) Ternyata, Irfan saat itu belum tahu arti kata gunadi. Akhirnya, dia mencoba menggunakan kreatifitasnya untuk mengarang arti namanya sendiri. Superb! Setelah melakukan penelusuran di Google, arti kata gunadi akhirnya ditemukan. Jadi, kata gunadi adalah kata sifat yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti "baik kegunaannya." Setidaknya, kreatifitas Irfan dalam menjelaskan arti namanya tadi tidak berbeda jauh dari arti yang sebenarnya. Seperti itulah penamaan orang-orang Indonesia pada umumnya, menggunakan kata sifat dari bahasa daerah atau bahasa asing. Banyak juga yang namanya menggunakan bulan kelahiran, misalnya teman saya Sari Octovira yang lahirnya di bulan Oktober. Ada pula yang menggunakan nama tokoh-tokoh terkenal dan berprestasi, misalnya Rudi Hartono, Susi Susanti, dan masih banyak lagi. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menggunakan kata sifat dan kata serapan dari bahasa asing, masyarakat di Thailand menggunakan kosa kata bahasa Thai untuk dijadikan nama. Khusus untuk nama panggilan, mereka umumnya menggunakan kata benda. Jika teman-teman kelasmu di Indonesia adalah Ani, Ari, Ria, dan Dodi yang tidak ada relevansinya dengan benda-benda disekitarmu, maka teman-teman kelasmu di Thailand kemungkinan adalah Fai (Awan), Daw (Bintang), Oiy (Minyak), Bank (Bank), dan kosa kata benda-benda lainnya. Sebagai mahasiswa asing, mengetahui arti nama banyak orang, bisa sekalian memperkaya kosa kata bahasa Thai. Keren dan unik, kan? 2. Menyapa senior dengan Wai (ไหว้) Di Indonesia, ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua atau yang di hormati, kita umumnya tersenyum dan memberi salam. Di Thailand, jika berpapasan dengan orang yang dihormati, misalnya dosen, senior, atau atasan, maka orang-orang akan melakukan "wai" seperti cara menyapa Ronald McDonald pada gambar di atas. Kaitannya dengan "wai", ada satu fenomena yang menarik perhatian saya setiap tahun ajaran baru, yakni tradisi "wai" yang dilakukan oleh mahasiswa baru. Setidaknya selama 6 bulan pertama sejak memasuki universitas, mahasiswa baru akan melakukan "wai" pada hampir setiap senior yang mereka temui, baik itu di kantin, di koridor jurusan, atau bahkan di stasiun bus. Saat pertama kali tiba disini, saya sempat kaget karena sejak meninggalkan asrama hingga tiba di jurusan, semua mahasiswa baru yang saya temui di jalan melakukan "wai" secara bersama-sama. Sekali lagi, secara bersama-sama. Saya sempat kebingungan, kemudian membalas melakukan "wai" sepanjang jalan. Sebagai mahasiswa asing yang belum mengerti kebudayaan lokal, saat itu saya selalu membalas "wai" para mahasiswa baru ini dengan melakukan "wai" juga. Sampai akhirnya saya memperhatikan para mahasiswa Thai senior yang hanya tersenyum ketika para maba melakukan "wai". Ternyata, melakukan wai pada orang yang lebih muda merupakan hal yang tidak umum bagi masyarakat disini. "Wai" tidak hanya dilakukan saat menyapa atau menghormati seseorang, tetapi dapat pula dilakukan saat berterima kasih, meminta maaf, atau saat berpisah. 3. Cukup menggunakan "tone" berbeda untuk mengubah arti kataDalam bahasa Indonesia, mengucapkan satu kata dengan berbagai intonasi tidak akan mengubah arti kata tersebut. Misalnya, mengucapkan kata "datang" dengan nada menurun, sedang, rendah, tinggi, atau meningkat, semuanya hanya berarti "datang", tidak akan berubah arti menjadi "pergi". Lain halnya dengan bahasa Thai, satu kata dalam bahasa Thai akan memiliki arti yang berbeda jika diucapkan dengan tone yang berbeda. Misalnya, kata "suai" dengan tone sedang (mid tone) berarti "sial", sedangkan kata "suai" dengan tone meningkat (rising tone) berarti "cantik". Sebagai orang Indonesia, kita harus sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata "suai" ini. Kenapa? karena orang Indonesia terbiasa menggunakan tone sedang (mid tone) dalam berbicara. Alhasil, mengucapkan kata "suai" dengan biasa saja, maka dapat memberi arti "sial" pada kalimat yang anda ucapkan. Saya pribadi sudah beberapa kali mengalami kejadian salah arti ini pada bulan-bulan pertama belajar bahasa Thai. Saya bermaksud memuji kecantikan teman sekelas (sambil praktek bahasa Thai), tetapi jadinya malah mengucapkan kalimat yang salah. Nah, untuk menghindari kesalahan yang sama saat berbicara pada orang Thai, ada baiknya pelajari 5 jenis tone khas Thai. Perbedaan kelima jenis tone dalam bahasa Thai dapat dilihat pada gambar berikut: Itulah tiga hal unik yang menarik perhatian saya selama berada di Negeri Siam ini. Tentu saja masih banyak keunikan lainnya yang akan saya share pada postingan selanjutnya. Ayo share artikel ini ke teman-teman yang lain ! Share is caring ! Sampai Jumpa ! |
Andi Citra PratiwiA graduate student in Science Education Department, Naresuan Unviersity. A biology lover, an educator wanna be, and a hunter of opportunities. Archives
August 2016
Categories
All
|