Saya berdiri di tepi Jalan Talasalapang sore itu, berpakaian kotak-kotak hitam putih, sambil menjinjing tas kanvas berisi notebook, charger, dan buku catatan. Saya melempar pandangan ke sekeliling, mencoba mencari tahu kalau saja ada wajah-wajah familiar di sekitar. Tapi, hanya ada sekelompok pria di warung sebelah, nampak sedang berkelakar. Tak ada wajah-wajah yang saya kenal, termasuk wajah tukang parkir di tempat ini. Motor dan mobil nampak terparkir tak beraturan. Begitu pula motor saya, hanya terparkir seadanya demi menempati celah yang tersisa.
Tanah berpasir di tepi jalan nampak kering. Butiran pasirnya berterbangan saat angin bertiup. Tapi tak tercium aroma tanah, seperti aroma khas selepas hujan yang selalu memanggil kembali memori masa kecil. Hanya tercium aroma debu bercampur asap kendaraan yang memaksa saya untuk bergegas memasuki bangunan di tepi jalan itu, kedai kopi favorit saya.
Tidak seperti kedai kopi di seberang jalan yang pintunya dibuat tetap terbuka, kedai favorit saya ini mengadopsi konsep in door dengan pintu geser yang selalu ditutup rapat. Cukup sulit membuka pintu geser berbahan dasar kayu itu. Otot lengan harus berkontraksi kuat-kuat, lalu badan harus ikut mendorong ke samping hingga celahnya cukup untuk dilewati. Setelah berhasil meloloskan badan melalui celah pintu yang terbuka secukupnya, saya bergegas ke meja kasir yang hanya berjarak sembilan langkah dari pintu masuk.
“Pisang goreng keju satu, coklat dingin satu.” Saya memesan dengan suara yang dikecil-kecilkan, sambil mengacungkan jari telunjuk. Nyaris seperti televisi rusak, ada gambar tak ada suara.
“Oh, oke!” Kata pria berseragam hitam yang mencatat pesanan saya sambil mengangguk-angguk.
Saya lalu bergegas menuju meja di ujung ruangan. Dari meja di ujung ruangan ini, saya bisa dengan leluasa memperhatikan detail ruangan kedai yang memang tak begitu luas. Di sisi kanan, ada empat buah meja yang disusun sejajar mengikuti panjang ruangan. Dindingnya di cat warna kuning dan dihiasi beberapa lukisan yang memberi warna modern. Di sisi kiri, ada meja kasir yang panjangnya lebih dari setengah panjang ruangan. Ada pula dua buah meja yang juga disusun sejajar. Dindingnya bernuansa lebih gelap dengan dasar abu-abu dan tulisan besar Hello.
Dari meja di ujung ruangan ini, saya masih bisa melihat kendaraan berlalu-lalang di depan kedai dari kaca pintu bening berbentuk kotak-kotak vertikal. Di kiri kanan pintu, ada rak kayu berwarna cokelat muda, senada dengan warna pintu. Ukuran rak itu cukup besar, hingga terkesan seperti dinding dengan banyak kompartemen berbentuk kotak. Di setiap kompartemennya, dipajang miniatur unik, termasuk miniatur becak, gendang, phinisi, hingga motor gede.
Kaca vertikal pada pintu geser dan celah-celah pada kompartemen rak di kedua sisi pintu itu memudahkan saya mengamati suasana tepi jalan di depan kedai tanpa harus melangkahkan kaki ke luar. Ada penampakan motor, mobil, dan pete-pete yang melintas, tapi suara bising klakson dan mesin-mesin kendaraan itu tak sampai menggetarkan membrane timpani saya, tertahan oleh pintu yang sejak tadi tertutup rapat.
Mata menatap jauh ke tepi jalan, tapi telinga hanya mendengar kebisingan dari ruang kepala sendiri. Neuron-neuron otak saya begitu ribut dengan pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang bagaimana menyelesaikan artikel yang deadline hari ini, bagaimana pola makan yang dapat menambah berat badan tapi tidak menambah jerawat, hingga tentang bagaimana agar saya bisa lolos ujian praktik berkendara. Dengan berbagai pertanyaan yang bergema di dalam kepala, saya tetap duduk diam, nyaris menyerupai patung dengan wajah datar.
Saya mengalihkan tatapan ke layar notebook. Tetap dengan wajah datar, hanya kedua mata saya yang sesekali berkedip. Kedua telinga saya ter-inaktivasi. Membran timpani tak merespon getaran suara para pengunjung lain di kedai itu. Tak terdengar sedikitpun suara, kecuali suara monolog neuron-neuron otak yang bergema berkali-kali. Ini aneh, karena monolog neuron lebih menarik bagi membran timpani di telinga saya. Bagaimana bisa suara-suara lain di ruangan ini terabaikan? Bagaimana bisa ruangan ini terasa seperti tanpa pengunjung? Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Kebisingan dari dinding neuron otak selalu membuat saya mengabaikan dunia nyata.
Bukan kali ini saja saya hanyut oleh arus monolog neuron, tenggelam dalam ramainya pertanyaan retoris yang menggema dari dasar cerebrum. Seringkali di rumah dan di kampus, saya duduk mematung dengan wajah datar menatap barisan huruf di layar sebelas inchi. Sekilas dunia saya tampak sunyi, tapi saya merasa benar-benar ramai. Sekilas mungkin tampak membosankan, hanya berkutat dengan lautan kata di layar sebelas inchi, tapi saya tak pernah benar-benar bosan.
“Eh, Kak Citra, sendiri ki kak? Kodong kakak, mana teman ta kak?” Sapaan seorang teman menyela monolog neuron yang sejak tadi belum berhenti.
“Iya dek, sendiri ji, hehe” Jawabku singkat sambil tersenyum lebar.
Sedetik kemudian, kepala saya kembali ramai dengan monolog yang hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Dia, dan semua orang di kedai ini, tidak akan mengerti serunya monolog neuron yang bergema dari dasar cerebrumku. Mereka mungkin tidak akan tahan duduk sendiri selama berjam-jam, tanpa teman ngobrol. Tapi, saya justru menikmati detik demi detik yang kuhabiskan untuk mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang digaungkan oleh neuron. Rasanya seperti menyeruput teh hangat di tengah-tengah para penikmat kopi, merayakan kebahagiaan dengan ukuran yang berbeda.
Tanah berpasir di tepi jalan nampak kering. Butiran pasirnya berterbangan saat angin bertiup. Tapi tak tercium aroma tanah, seperti aroma khas selepas hujan yang selalu memanggil kembali memori masa kecil. Hanya tercium aroma debu bercampur asap kendaraan yang memaksa saya untuk bergegas memasuki bangunan di tepi jalan itu, kedai kopi favorit saya.
Tidak seperti kedai kopi di seberang jalan yang pintunya dibuat tetap terbuka, kedai favorit saya ini mengadopsi konsep in door dengan pintu geser yang selalu ditutup rapat. Cukup sulit membuka pintu geser berbahan dasar kayu itu. Otot lengan harus berkontraksi kuat-kuat, lalu badan harus ikut mendorong ke samping hingga celahnya cukup untuk dilewati. Setelah berhasil meloloskan badan melalui celah pintu yang terbuka secukupnya, saya bergegas ke meja kasir yang hanya berjarak sembilan langkah dari pintu masuk.
“Pisang goreng keju satu, coklat dingin satu.” Saya memesan dengan suara yang dikecil-kecilkan, sambil mengacungkan jari telunjuk. Nyaris seperti televisi rusak, ada gambar tak ada suara.
“Oh, oke!” Kata pria berseragam hitam yang mencatat pesanan saya sambil mengangguk-angguk.
Saya lalu bergegas menuju meja di ujung ruangan. Dari meja di ujung ruangan ini, saya bisa dengan leluasa memperhatikan detail ruangan kedai yang memang tak begitu luas. Di sisi kanan, ada empat buah meja yang disusun sejajar mengikuti panjang ruangan. Dindingnya di cat warna kuning dan dihiasi beberapa lukisan yang memberi warna modern. Di sisi kiri, ada meja kasir yang panjangnya lebih dari setengah panjang ruangan. Ada pula dua buah meja yang juga disusun sejajar. Dindingnya bernuansa lebih gelap dengan dasar abu-abu dan tulisan besar Hello.
Dari meja di ujung ruangan ini, saya masih bisa melihat kendaraan berlalu-lalang di depan kedai dari kaca pintu bening berbentuk kotak-kotak vertikal. Di kiri kanan pintu, ada rak kayu berwarna cokelat muda, senada dengan warna pintu. Ukuran rak itu cukup besar, hingga terkesan seperti dinding dengan banyak kompartemen berbentuk kotak. Di setiap kompartemennya, dipajang miniatur unik, termasuk miniatur becak, gendang, phinisi, hingga motor gede.
Kaca vertikal pada pintu geser dan celah-celah pada kompartemen rak di kedua sisi pintu itu memudahkan saya mengamati suasana tepi jalan di depan kedai tanpa harus melangkahkan kaki ke luar. Ada penampakan motor, mobil, dan pete-pete yang melintas, tapi suara bising klakson dan mesin-mesin kendaraan itu tak sampai menggetarkan membrane timpani saya, tertahan oleh pintu yang sejak tadi tertutup rapat.
Mata menatap jauh ke tepi jalan, tapi telinga hanya mendengar kebisingan dari ruang kepala sendiri. Neuron-neuron otak saya begitu ribut dengan pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang bagaimana menyelesaikan artikel yang deadline hari ini, bagaimana pola makan yang dapat menambah berat badan tapi tidak menambah jerawat, hingga tentang bagaimana agar saya bisa lolos ujian praktik berkendara. Dengan berbagai pertanyaan yang bergema di dalam kepala, saya tetap duduk diam, nyaris menyerupai patung dengan wajah datar.
Saya mengalihkan tatapan ke layar notebook. Tetap dengan wajah datar, hanya kedua mata saya yang sesekali berkedip. Kedua telinga saya ter-inaktivasi. Membran timpani tak merespon getaran suara para pengunjung lain di kedai itu. Tak terdengar sedikitpun suara, kecuali suara monolog neuron-neuron otak yang bergema berkali-kali. Ini aneh, karena monolog neuron lebih menarik bagi membran timpani di telinga saya. Bagaimana bisa suara-suara lain di ruangan ini terabaikan? Bagaimana bisa ruangan ini terasa seperti tanpa pengunjung? Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Kebisingan dari dinding neuron otak selalu membuat saya mengabaikan dunia nyata.
Bukan kali ini saja saya hanyut oleh arus monolog neuron, tenggelam dalam ramainya pertanyaan retoris yang menggema dari dasar cerebrum. Seringkali di rumah dan di kampus, saya duduk mematung dengan wajah datar menatap barisan huruf di layar sebelas inchi. Sekilas dunia saya tampak sunyi, tapi saya merasa benar-benar ramai. Sekilas mungkin tampak membosankan, hanya berkutat dengan lautan kata di layar sebelas inchi, tapi saya tak pernah benar-benar bosan.
“Eh, Kak Citra, sendiri ki kak? Kodong kakak, mana teman ta kak?” Sapaan seorang teman menyela monolog neuron yang sejak tadi belum berhenti.
“Iya dek, sendiri ji, hehe” Jawabku singkat sambil tersenyum lebar.
Sedetik kemudian, kepala saya kembali ramai dengan monolog yang hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Dia, dan semua orang di kedai ini, tidak akan mengerti serunya monolog neuron yang bergema dari dasar cerebrumku. Mereka mungkin tidak akan tahan duduk sendiri selama berjam-jam, tanpa teman ngobrol. Tapi, saya justru menikmati detik demi detik yang kuhabiskan untuk mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang digaungkan oleh neuron. Rasanya seperti menyeruput teh hangat di tengah-tengah para penikmat kopi, merayakan kebahagiaan dengan ukuran yang berbeda.