Jam dinding menunjukkan pukul 05.00 WITA. Suara air hujan di atap rumah bergemuruh memecah kesunyian pagi itu. Saya meringkuk seperti janin dengan kedua kaki menekuk dan kedua tangan yang disilangkan. Mencoba bertahan di zona ternyaman pagi itu, saya menenggelamkan diri dalam selimut. Namun, pikiran saya melayang jauh ke Pulau Satando. Tergambar serunya bergabung bersama tim The Floating School, bermain dan belajar bersama anak-anak di pulau itu.
The Floating School, program pendidikan non-formal yang bergerak dalam pengembangan skill dan kreatifitas pemuda di Kabupaten Pangkep, kali ini menarget tiga pulau. Pulau Satondo salah satunya. Berbeda dari beberapa program lain, The Floating School menyediakan 7 kelas kreatif sesuai minat, bakat, dan kebutuhan para pemuda di daerah target, yakni kelas menulis, menggambar, fotografi, musik, menari, prakarya, dan kelas komputer. Program ini termasuk unik, karena mampu mengumpulkan para pemuda dari beberapa daerah untuk bekerja sama demi pendidikan yang lebih baik di daerah target.
Di balik terlaksananya program The Floating School, ada para pemikir muda yang telah berhasil memperjuangkan program hingga lolos sebagai salah satu pemenang YSEALI SEED 2016. Kak nunu, Nurul Al Marwah Asrul, adalah salah satu pemikirnya. Alumni Pascasarjana Jurusan Biomedik ini adalah sosok yang dikenal dengan segudang prestasi. Selain menginisiasi program The Floating School, kak nunu juga aktif di berbagai komunitas di kota Makassar, diantaranya Komunitas Blogger Makassar, SIGI, 1000 guru Makassar, dan Kepo Initiative.
Deretan prestasi yang dapat diraihnya di usia muda tak hanya mengundang decak kagum, tetapi juga mengundang tanya dari orang-orang di sekelilingnya “Bagaimana bisa Kak nunu menjadi secemerlang itu?” Hari ini, pertanyaan serupa kembali mendorong saya untuk bergegas menuju rumah kak Nunu. Berbekal jas hujan, helm, dan motor matic, saya menembus hujan dengan percepatan hingga 50 km/jam. Untuk kedua kalinya, saya akan bergabung dengan Tim The Floating School menuju Pulau Satando.
***
Jarum jam menunjuk pukul 09.30 Wita. Saya duduk bersila di sisi kiri perahu motor, bersandar pada dinding ruangan di mana Daeng Sikki’ mengemudi perahu motor. Di hadapan saya terhampar lautan biru dan beberapa pulau kecil yang jaraknya cukup dekat. Di samping kanan saya, Kak Nunu duduk dengan posisi serupa, sesekali memotret hamparan laut dengan ponsel cerdasnya.
Tiba di Pulau Satando, Tim The Floating School bergegas ke sekolah, mengumpulkan siswa, dan menyiapkan kelas. “Cit, ini daftar nama siswa kelas menulis. Coba tanya temannya.” Kak nunu menyodorkan beberapa nama siswa yang belum juga muncul. “Oh, oke kak.” Saya menerima kertas itu lalu bergegas menghampiri siswa kelas menggambar yang sudah duduk berkelompok di sudut lapangan sekolah. Namun, tak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan siswa kelas menulis. Saat kelas lain sudah mulai belajar, siswa kelas menulis belum juga muncul.
Selang beberapa menit, dua orang siswa kelas menulis akhirnya muncul. Kak nunu lalu membuka kelas menulis dengan meminta keduanya mengumpulkan tugas menulis pekan lalu. Di teras bangunan sekolah, kak nunu dan saya duduk bersila, membaca tulisan mereka secara bergantian.
“Saya suka tulisan kalian, saya nda’ nyangka kalian bisa nulis sebagus ini.” Kak nunu memberi apresiasi positif pada kedua siswa tadi, lalu segera menoleh ke arah saya, “Cit, sepertinya kita harus tampilkan ini di kelas kepo minggu depan, sentuhan personalnya dapat banget.” Saya tentu setuju, karena kedua tulisan yang saya baca tadi memang kaya dengan deskripsi personal.
Di antara buku-buku yang berserakan di lantai, kak nunu mulai menjelaskan materi dengan memanfaatkan papan tulis putih berukuran kurang lebih 40 cm x 30 cm. Raut bahagia dan penuh semangat jelas sekali tergambar di wajahnya. Sesekali, mereka tertawa lepas.
Dari arah belakang, empat orang anak kecil tiba-tiba muncul. Usianya sekitar tujuh atau delapan tahun. Salah satu dari mereka, bahkan membawa adiknya yang hanya berusia usia dua tahun. Mereka ingin bergabung dengan kelas menulis. Nampaknya karena tertarik dengan buku-buku yang tergeletak di lantai. Kak nunu menyambut dengan senyum lebar yang khas, seraya menunjukkan buku-buku yang dapat mereka baca.
Selang beberapa menit, anak kecil lainnya mulai berdatangan dan berebut ingin memilih buku. Peserta cilik yang tidak terdaftar sebagai siswa The Floating School ini harus segera dialihkan perhatiannya. Tapi, bagaimana caranya? Kak nunu lalu berbisik di antara ributnya suara cempreng anak-anak kecil itu, “Citra, ajak dulu main.” “Oh iya, sini adik-adik, ayo main di lapangan!” saya bergegas mengajak anak-anak itu ke lapangan, tanpa rencana yang jelas harus bermain apa.
Saya yang telah beralih tugas bermain bersama belasan anak kecil, kini berdiri di lapangan. Sesekali mengamati berlangsungnya kelas menulis dari jarak beberapa meter. Dari kejauhan, Kak nunu terlihat sibuk menjelaskan dengan papan tulis putih di tangannya. Hari sudah menjelang siang, tapi belum ada raut lelah tergambar di wajahnya. Layaknya baterai, kak nunu hampir-hampir seperti baterai yang selalu terisi full.
Semangat mengajar Kak Nunu hari ini hanyalah sebagian kecil dari semangatnya mengurus berbagai kegiatan dalam waktu yang hampir selalu bersamaan. Teman-teman di sekelilingnya tahu betul bagaimana Kak Nunu selalu sibuk dalam berbagai kegiatan kepemudaan. Di akhir kelas prakarya pekan lalu, Kak Muti juga menyiratkan hal serupa. “Nunu itu kepedulian sosialnya tinggi sekali, ibarat tidak pernah berhenti berpkir apa lagi yang bisa dia lakukan.” Ungkap Kak Muti seraya menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya saat menjadi professional fellow di Amerika Serikat bersama Kak Nunu.
Sebagai seorang magister Biomedik, kak nunu telah menunjukkan kepeduliannya pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. The Floating School hanyalah salah satu dari sekian banyak kontribusi nyata wanita kelahiran Riyad Arab Saudi ini di bidang pendidikan. Mengingat berbagai pencapaiannya di bidang akademik dan non-akademik, banyak yang masih bertanya-tanya mengapa Kak Nunu mau bersibuk-sibuk dengan segudang kegiatan sosial, sementara dia bisa mulai fokus menata kariernya.
“Saya ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama orang-orang berkualitas.” Begitu kata Kak nunu saat ditanyai hal yang paling ingin dilakukannya. Kalimat yang terdengar sederhana, tapi menyiratkan keinginan untuk bisa selalu melakukan hal yang bermanfaat.
The Floating School, program pendidikan non-formal yang bergerak dalam pengembangan skill dan kreatifitas pemuda di Kabupaten Pangkep, kali ini menarget tiga pulau. Pulau Satondo salah satunya. Berbeda dari beberapa program lain, The Floating School menyediakan 7 kelas kreatif sesuai minat, bakat, dan kebutuhan para pemuda di daerah target, yakni kelas menulis, menggambar, fotografi, musik, menari, prakarya, dan kelas komputer. Program ini termasuk unik, karena mampu mengumpulkan para pemuda dari beberapa daerah untuk bekerja sama demi pendidikan yang lebih baik di daerah target.
Di balik terlaksananya program The Floating School, ada para pemikir muda yang telah berhasil memperjuangkan program hingga lolos sebagai salah satu pemenang YSEALI SEED 2016. Kak nunu, Nurul Al Marwah Asrul, adalah salah satu pemikirnya. Alumni Pascasarjana Jurusan Biomedik ini adalah sosok yang dikenal dengan segudang prestasi. Selain menginisiasi program The Floating School, kak nunu juga aktif di berbagai komunitas di kota Makassar, diantaranya Komunitas Blogger Makassar, SIGI, 1000 guru Makassar, dan Kepo Initiative.
Deretan prestasi yang dapat diraihnya di usia muda tak hanya mengundang decak kagum, tetapi juga mengundang tanya dari orang-orang di sekelilingnya “Bagaimana bisa Kak nunu menjadi secemerlang itu?” Hari ini, pertanyaan serupa kembali mendorong saya untuk bergegas menuju rumah kak Nunu. Berbekal jas hujan, helm, dan motor matic, saya menembus hujan dengan percepatan hingga 50 km/jam. Untuk kedua kalinya, saya akan bergabung dengan Tim The Floating School menuju Pulau Satando.
***
Jarum jam menunjuk pukul 09.30 Wita. Saya duduk bersila di sisi kiri perahu motor, bersandar pada dinding ruangan di mana Daeng Sikki’ mengemudi perahu motor. Di hadapan saya terhampar lautan biru dan beberapa pulau kecil yang jaraknya cukup dekat. Di samping kanan saya, Kak Nunu duduk dengan posisi serupa, sesekali memotret hamparan laut dengan ponsel cerdasnya.
Tiba di Pulau Satando, Tim The Floating School bergegas ke sekolah, mengumpulkan siswa, dan menyiapkan kelas. “Cit, ini daftar nama siswa kelas menulis. Coba tanya temannya.” Kak nunu menyodorkan beberapa nama siswa yang belum juga muncul. “Oh, oke kak.” Saya menerima kertas itu lalu bergegas menghampiri siswa kelas menggambar yang sudah duduk berkelompok di sudut lapangan sekolah. Namun, tak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan siswa kelas menulis. Saat kelas lain sudah mulai belajar, siswa kelas menulis belum juga muncul.
Selang beberapa menit, dua orang siswa kelas menulis akhirnya muncul. Kak nunu lalu membuka kelas menulis dengan meminta keduanya mengumpulkan tugas menulis pekan lalu. Di teras bangunan sekolah, kak nunu dan saya duduk bersila, membaca tulisan mereka secara bergantian.
“Saya suka tulisan kalian, saya nda’ nyangka kalian bisa nulis sebagus ini.” Kak nunu memberi apresiasi positif pada kedua siswa tadi, lalu segera menoleh ke arah saya, “Cit, sepertinya kita harus tampilkan ini di kelas kepo minggu depan, sentuhan personalnya dapat banget.” Saya tentu setuju, karena kedua tulisan yang saya baca tadi memang kaya dengan deskripsi personal.
Di antara buku-buku yang berserakan di lantai, kak nunu mulai menjelaskan materi dengan memanfaatkan papan tulis putih berukuran kurang lebih 40 cm x 30 cm. Raut bahagia dan penuh semangat jelas sekali tergambar di wajahnya. Sesekali, mereka tertawa lepas.
Dari arah belakang, empat orang anak kecil tiba-tiba muncul. Usianya sekitar tujuh atau delapan tahun. Salah satu dari mereka, bahkan membawa adiknya yang hanya berusia usia dua tahun. Mereka ingin bergabung dengan kelas menulis. Nampaknya karena tertarik dengan buku-buku yang tergeletak di lantai. Kak nunu menyambut dengan senyum lebar yang khas, seraya menunjukkan buku-buku yang dapat mereka baca.
Selang beberapa menit, anak kecil lainnya mulai berdatangan dan berebut ingin memilih buku. Peserta cilik yang tidak terdaftar sebagai siswa The Floating School ini harus segera dialihkan perhatiannya. Tapi, bagaimana caranya? Kak nunu lalu berbisik di antara ributnya suara cempreng anak-anak kecil itu, “Citra, ajak dulu main.” “Oh iya, sini adik-adik, ayo main di lapangan!” saya bergegas mengajak anak-anak itu ke lapangan, tanpa rencana yang jelas harus bermain apa.
Saya yang telah beralih tugas bermain bersama belasan anak kecil, kini berdiri di lapangan. Sesekali mengamati berlangsungnya kelas menulis dari jarak beberapa meter. Dari kejauhan, Kak nunu terlihat sibuk menjelaskan dengan papan tulis putih di tangannya. Hari sudah menjelang siang, tapi belum ada raut lelah tergambar di wajahnya. Layaknya baterai, kak nunu hampir-hampir seperti baterai yang selalu terisi full.
Semangat mengajar Kak Nunu hari ini hanyalah sebagian kecil dari semangatnya mengurus berbagai kegiatan dalam waktu yang hampir selalu bersamaan. Teman-teman di sekelilingnya tahu betul bagaimana Kak Nunu selalu sibuk dalam berbagai kegiatan kepemudaan. Di akhir kelas prakarya pekan lalu, Kak Muti juga menyiratkan hal serupa. “Nunu itu kepedulian sosialnya tinggi sekali, ibarat tidak pernah berhenti berpkir apa lagi yang bisa dia lakukan.” Ungkap Kak Muti seraya menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya saat menjadi professional fellow di Amerika Serikat bersama Kak Nunu.
Sebagai seorang magister Biomedik, kak nunu telah menunjukkan kepeduliannya pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. The Floating School hanyalah salah satu dari sekian banyak kontribusi nyata wanita kelahiran Riyad Arab Saudi ini di bidang pendidikan. Mengingat berbagai pencapaiannya di bidang akademik dan non-akademik, banyak yang masih bertanya-tanya mengapa Kak Nunu mau bersibuk-sibuk dengan segudang kegiatan sosial, sementara dia bisa mulai fokus menata kariernya.
“Saya ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama orang-orang berkualitas.” Begitu kata Kak nunu saat ditanyai hal yang paling ingin dilakukannya. Kalimat yang terdengar sederhana, tapi menyiratkan keinginan untuk bisa selalu melakukan hal yang bermanfaat.